Hal yang tersulit ketika seseorang memutuskan untuk berhijab bukanlah
mendapatkan hidayahnya tapi bagaimana kita dapat mempertahankan hidayah
tersebut. Hijab sebenarnya bukanlah suatu hal yang asing buatku. Aku sering
melihat beberapa saudaraku yang sudah berumur memakai hijab, atau guru-guruku,
dan orang-orang juga banyak yang berhijab. Namun rasanya biasa saja. Aku
berasumsi bahwa ‘’tidak apa-apa lah ga pake jilbab, yang penting pakaian yang
aku kenakan selalu sopan’’. Kebetulan sebelum aku berhijab pun, aku memang
tidak suka berpakaian yang seksi. Orangtua juga melarang anaknya keluar rumah
memakai celana pendek, rok mini, atau tanktop. Aku sendiri memang cenderung
agak tomboy. Pakaian yang kenakan paling kaus lengan pendek, celana jeans,
kemeja, kaus lengan panjang, rok pun selalu dibawah lutut. Aku tidak pernah
memakai hotpants, tanktop, rok mini,
atau mengikuti mode celana kedodoran yang terlihat celana dalamnya ketika
berjongkok. Karena aku memang tidak suka. Namun persepsiku salah. Aku baru
mengetahui bahwa jilbab merupakan suatu kewajiban seorang muslimah. Tahun 2007,
usiaku 13 tahun, bapakku meninggal dunia. Hidupku berubah 180 derajat. Aku
terpukul sekali. Saat bapak baru meninggal, ibuku yang semula tidak berhijab,
langsung seketika itu juga istiqomah memakai hijab hingga saat ini. Aku sering
merasa kagum melihat teman-teman sekolahku yang saat itu sudah istiqomah
berhijab. Adem rasanya menatap mereka. Mereka terlihat anggun dan rapi.
Keinginan berhijab sudah ada, tetapi nanti saja ketika aku sudah kuliah. Hingga
pada saat idul fitri 2008, aku mengalami gangguan kecemasan. Jantungku berdetak
kencang, tubuhku gemetaran, rasa ketakutan menjalar di sekujur tubuh, saat itu
aku teringat akan kematian. Aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi? Apa karena
aku trauma akan kepergian ayahku? Atau karena apa? mungkin ini yang disebut
dengan hidayah. Saat itu aku teringat akan segala dosa dan kesalahanku. Usiaku
masih sangat kecil, 14 tahun, aku baru duduk di kelas 1 sma. Juga baru setahun
aku ditinggal oleh alm. Ayahku. Malam hari selepas kejadian itu, setelah aku
sudah bisa lebih tenang, aku menangis sejadi-jadinya dengan penuh rasa
ketakutan mengingat dosa-dosa dan kesalahanku. Tiba-tiba muncul statement dari
mulutku bahwa aku ingin berhijab. Aku sempat berkonsultasi dengan ibu,
keluarga, dan beberapa teman dekatku. Respon mereka mayoritas positif. Hingga
tanggal 5 oktober 2008, pada saat acara halal bi halal keluarga besarku,
bismillahirahmanirahim aku mantap berhijab. Di awal aku berhijab tidak begitu
mulus jalanku. Aku masih mengalami gangguan kecemasan itu dan sempat sakit
selama sebulan, ada juga yang meremehkan keputusanku berhijab dan mengganggap
bahwa itu hanya sementara. Aku juga menjadi bahan bully ketika aku mulai
berhijab. Banyak teman sekolahku yang cowok sering meledekku, menghinaku,
mereka sering meledekku dengan sebutan karung berjalan, ibu-ibu, ustadzah,
rockstar insyaf, dan bahkan ada yang terang-terangan berkata bahwa aku nampak
jelek dengan hijab yang aku pakai. Aku sempat merasa down. Tapi aku ingat
komitmen awalku kepada Allah swt untuk istiqomah berhijab. Alhamdulilah, hingga
saat ini aku sudah kuliah aku masih setia memakai hijabku, dan insyaAllah
hijabku ini aku terus kupakai untuk selamanya. Aku tahu meski hijabku belum
sempurna dan ilmu agamaku masih kurang, namun aku akan terus berusaha untuk
memperbaiki diriku dan memperbanyak ilmu agama. Aku sadar bahwa peristiwa saat
itu merupakan hidayah dari Allah swt dan betapa bersyukurnya bahwa Allah masih
sangat menyayangiku. Aku tidak tahu akan seperti apa pergaulan, kehidupan, dan
aqidahku jika sekarang aku belum berjilbab. Aku berterimakasih kepadaMU ya
Allah...
(Ratna Purnamasari-19 tahun-Bogor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar