Ayah,
sosok seorang pria yang tangguh yang menjadi tulang punggung untuk keluarga.
Ayah memiliki tanggung jawab berat sebagai kepala rumah tangga sekaligus bapak
untuk anak-anaknya. Sosok ayah selalu spesial di mataku, siapapun ayah
tersebut. Karena sosok seorang ayah memiliki arti penting tersendiri di dalam
kehidupanku. Aku lahir dengan latar belakang keluarga menengah, yang di bilang sebagai
orang kaya tidak, tapi di sebut miskin juga bukan, kami lumayan berkecukupan.
Sosok seorang Ayah yang selalu ku panggil bapak, adalah pria yang sangat baik,
lembut, perhatian, namun tegas, dan sangat protektif terhadap anaknya. Aku
ingat ketika ayah selalu berteriak menanyakan ada apa dengan nada kekekhawatiran
untuk memastikan keadaanku, ketika ia mendengar jeritan atau tangisanku , dan
memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Ayah bahkan tidak tega untuk membiarkan kepalaku di gunduli seperti bayi
lainnya ketika aku masih bayi, karena alasan kasihan denganku yang masih kecil.
Padahal lazim jika anak bayi seusiaku pada saat itu di gunduli rambutnya agar
tumbuh rambut baru. Namun ayahku menolaknya dengan alasan takut melukai kulitku
yang masih sensitif. Aku mengetahui hal ini dari ibuku. Ayah ku meski dengan
keterbatasannya yang ia miliki, ia akan selalu berusaha untuk melindungiku
sebagai puteri kesayangannya ketika ada seseorang atau suatu hal yang menyakiti
diriku. Sering kali beliau marah terhadap seseorang yang membuatku menangis
hanya karena alasan sepele. Dan betapa cemasnya ketika ia melihatku terluka,
seperti jatuh, atau teriris pisau ketika aku akan menajamkan pensilku. Lebih
cemas dari diriku sendiri yang sedang kesakitan. Aku ini anak yang teledor. Aku
sering membuat khawatir ayahku. Aku memiliki ketidakseimbangan pada saat aku
masih kecil, jadi aku sering sekali terjatuh saat jalan, terjerembap ke got,
terluka saat bermain, sehingga ayahku menjadi ayah yang ‘’over protektif’’
kepada anaknya. Menjadi anak tunggal selama 8 tahun, membuatku merasa
diistimewakan oleh ayahku sebagai puteri kesayangannya. Aku tahu meski dia
begitu protektif terhadapku, tapi sesungguhnya itu adalah bukti bahwa ia amat
menyayangiku begitu dalam. Memang ayahku tidak seperti ayah-ayah lain yang
normal pada umumnya. Ibu pernah bercerita, bagaimana sedihnya ayah ketika aku
baru lahir namun ia tidak dapat menggendongku di karenakan penyakit pinggangnya
yang ia derita sejak tahun 1989. Ayah memang sudah sakit-sakitan sebelum
menikah dengan ibu. Secara fisik dia terlihat gagah dengan tinggi sekitar 180an
dan berat badan proporsional. Ia sering bercerita kepadaku karena posturnya
yang tinggi tegap itulah yang membuat banyak wanita banyak mengejarnya di masa
muda. Aku hanya tertawa sambil mencibir setiap kali ayah menceritakan hal
tersebut kepadaku. Namun ada rasa bangga bahwa bagaimanapun ayahku adalah
seorang idola dulunya yang memiliki wajah tampan, berpostur gagah, dan
kharisma. Aku sering bercanda dengannya bahwa berarti aku juga punya kesempatan
yang sama dengannya untuk menjadi rebutan para pria, dan ayah hanya tertawa
mendengar pernyataanku. Mungkin memang secara fisik ia tidak terlihat seperti
layaknya orang sakit. Akan tetapi penyakit yang ia derita itu lebih sakit
dibanding dengan apa yang selama ini ia sembunyikan dari kebanyakan orang. Ia
masih bisa terlihat tampak tenang, biasa, dan bekerja dengan normal padahal
sebenarnya aku tahu saat itu rasa sakit pinggang menggerogotinya namun ia
selalu menahan kesakitannya. Aku kagum dengan kesabarannya yang luar biasa
tanpa batas menghadapi penyakitnya yang ia derita selama belasan tahun. Ayah
sudah sering sekali bolak-balik ruang operasi dan keluar masuk rumah sakit,
sehingga sampai suatu ketika saat ia sudah menikah dengan ibuku, ia bersumpah
tidak akan pernah mau di rawat di rumah sakit lagi dikarenakan trauma mendalam.
Bahkan ketika aku berusia sekitar 3 tahun, ayahku sempat lumpuh. Ia tidak bisa
berjalan sama sekali. Aku ingat ketika hampir tiap bulan aku pergi bersama ibu
untuk mengambil uang gajian ayah di kantor lalu membelikan sepotong ayam KFC
kesukaanku. Untung saja ayahku adalah seorang pegawai negri, jadi meskipun ia
tidak bekerja namun uang gaji tetap ia dapatkan. Di usiaku yang ke 5 tahun, aku
sering memperhatikan ayahku dibopong oleh ibu untuk pergi ke kamar kecil, atau untuk mandi. Aku bertanya-tanya dalam hati,
mengapa ayahku tidak bisa berjalan layaknya ayah-ayah yang lain? Mengapa setiap
bulan ayahku tidak bisa menemaniku untuk sekedar makan di restaurant KFC? Lalu
aku berdoa. Aku berdoa kepada Tuhan agar segera memberikan kesembuhan untuk
ayahku agar bisa berjalan lagi seperti sedia kala. Dan aku sering mendoakannya
secara terang-terangan di depan ayahku sambil duduk di bawah kakinya dan
memijit-mijit kakinya, ‘’Ya Allah semoga bapak bisa jalan lagi ya Allah’’...
ucapku dengan polosnya ketika aku masih berusia 5 tahun. Sejujurnya aku tidak
terlalu mengerti apa yang aku sampaikan kepada Tuhan pada saat itu. Aku hanya
berharap agar ayahku bisa berjalan dan menemaniku jalan-jalan bersama ibu ke
tempat yang aku sukai. Mungkin doa anak kecil yang polos dan belum ada dosa
mudah dikabulkan oleh Tuhan. Suatu hari, ada teman ayahku yang baru pulang dari
Jepang. Ia entah dalam rangka apa tiba-tiba datang ke rumah untuk menjenguk
ayahku yang dari sebelum ia berangkat ke Jepang , sudah menderita lumpuh. Sepertinya
teman ayahku itu baru saja belajar ilmu pijit memijit entah itu shiatsu, atau
apa dari Jepang. Ia datang ke rumah untuk mempraktekannya dengan ayahku. Ajaib!
Lumpuh yang sudah bertahun-tahun ia derita, seketika sembuh dalam hitungan
menit hanya karena di pijat-pijat saja bagian syarafnya. Hari itu meski aku
masih kecil sekali, aku bisa mengingatnya dengan baik dimana hari itu adalah
hari yang paling membahagiakan buatku karena ayahku bisa berjalan kembali. Aku
merasa indahnya doa yang dikabulkan pertama kalinya pada saat itu. Kemudian setelah
kejadian itu, ayahku bisa berjalan dan beraktifitas normal kembali. Ia mulai
berangkat ke kantor lagi setiap harinya. Ia tidak perlu merepotkan ibuku lagi
untuk membantunya mandi atau pergi ke kamar kecil. Hanya saja penyakit itu
tetap masih bersarang dalam tubuhnya. Setiap hari aku mendengar raungan
kesakitan ketika pinggangnya sudah kambuh di malam hari. Ayahku selalu
bergadang. Dia tidak pernah tidur di jam yang seharusnya karena terganggu oleh
keluhan nyeri di pinggangnya. Aku tumbuh dengan terbiasa mendengar suara
kesakitan dari ayahku. Sebenarnya aku sering merasa terganggu, tetapi aku lebih
kasihan dengan ayahku yang harus menderitanya setiap malam. Aku sedih karena
sesakit apapun yang ia rasakan, ayah tetap menunaikan kewajibannya untuk pergi
bekerja mencari nafkah. Ia tidak pernah sedikit pun mengeluh di hadapanku akan
penyakit dan masalah yang ia derita. Ayah bagaimanapun ia , ayah akan terus dan
selalu berusaha untuk membahagiakan kami sekeluarga. Bahkan kasih sayangnya
terhadapku tidak berkurang ketika adikku lahir. Ayah memperlakukan adikku sama
istimewanya denganku. Belum pernah di belahan dunia manapun aku melihat ada
seorang ayah yang menyanyangi anaknya lebih dari seorang ibu, dan meletakan kami sebagai keluarga di atas
segalanya sebagai harta yang paling berharga. Meski kami hidup sederhana tapi
aku belajar arti kebahagiaan yang sesungguhnya ketika aku melewati masa kecil bersama ayahku. Hingga saat ini
aku sepakat untuk mengatakan bahwa masa terindah dalam hidupku adalah ketika
aku masih kecil. Sungguh kehidupan yang sempurna buatku. Ayah selalu membawakan
makanan setiap kali ia pulang kerja, meski sebenarnya mungkin ketika itu
dompetnya sedang menipis. Baginya melihat wajah kami yang senang ketika ia
membawa oleh-oleh adalah kepuasan tersendiri. Dan sewaktu-waktu ia tidak dapat
membawakan sesuatu saat pulang ke rumah, ia terlihat sama kecewanya denganku
saat aku berkata ‘’yaaah gak bawa apa-apa’’.
Ayahku
adalah orang yang kreatif,rapi,dan terampil. Ia bisa menjahit baju, celana,
sarung bantal, tas, membuat rumah-rumahan barbie untukku yang terbuat dari
kardus bekas, menggambar kertas sampul buku tulisku dengan tokoh kartun yang
lucu-lucu, membuat amplop untuk tempat pembayaran spp ku dengan sekreatif
mungkin. Aku bangga ketika teman-temanku kagum melihat buku-buku ku yang
tersampul rapi dengan sampul hasil karya ayah. Sampulnya begitu rapi, ia
sendiri yang membuatnya. Di sampulnya di beri gambar kartun yang lucu-lucu.
Bahkan jadwal daftar pelajaranku pun ia yang membuatnya. Ayah orang yang sangat
detail, cermat, dan terampil. Keterampilannya tidak menurun kepada
anak-anaknya. Karena aku sendiri tidak bisa membuat kerajinan tangan apapun,
bahkan menjahit kancing baju yang copot aku masih kesulitan. Karena kerapihan
dan keterampilannya, ia bekerja di Departemen Kehutanan bagian Penggambaran
PETA. Aku suka ketika melihat ayah sedang asyik berkutat di meja kerjanya
serius menekuri gambar yang sedang ia buat. Peta buatan ayah sungguh canggih.
Ia juga memiliki alat khusus untuk membuat tulisan di peta itu terlihat rapi
layaknya tulisan di komputer. Ayah sendiri tidak memiliki komputer. Tetapi ia
mahir memakai alat tersebut, dan tidak semua orang bisa menggunakannya.
Jika
ditanya siapa sahabat terbaikku? Aku akan menjawab bahwa itu adalah ayahku
sendiri. Ia berperan bukan hanya sebagai bapak, kepala rumah tangga saja, ia
juga berperan sebagai seorang kawan dan pendengar yang baik untuk anaknya.
Ketika aku memasuki masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja, ayah jauh lebih
memahami diriku dibandingkan ibu. Aku segan untuk bercerita soal cowok yang aku
sukai di smp dengan ibu. Aku lebih merasa nyaman bercerita kepada ayah. Ayah
juga sering menceritakan pengalaman masa mudanya denganku, kadang kami suka
menghabiskan waktu berdua saling bercerita dan bertukar pikiran. Jangan salah
ayah juga bisa galak dan tegas! Ketika aku mulai bandel, pernah pulang malam
sehabis menonton pertandingan basket dan pernah pulang malam sehabis berkencan
dengan kakak kelasku, ayah akan bertindak tegas terhadapku. Bodohnya aku,
menganggap itu sebagai suatu kekangan dari ayah. Padahal itu adalah bentuk
perhatian ayah terhadapku, mungkin ia mengkhawatirkan banyak hal ketika aku
mulai memasuki masa puber. Aku juga kadang suka melawan ayah dan pernah
terlibat konflik. Aku lebih takut ayah marah dibanding ibu. Karena beliau orang
yang sangat jarang marah hampir tidak pernah terlibat konflik denganku. Jangan
salah meski seperti itu ketika marah, ayah jauh lebih lembut dibanding ibuku.
Aku mendapat sisi kelembutan dari sosok ayahku. Ibuku orangnya jauh lebih galak
dan bawel. Ayah jarang memarahi apalagi membentakku. Hingga aku berusia 13
tahun, ia tetap saja memanggilku dengan panggilan ‘’sayang’’. Kadang aku merasa
risih dan geli mendengarnya, dan jika aku merasa seperti itu, ia akan terus
menggodaku. Aku ingat banyak bentuk perhatiannya yang ia berikan kepadaku.
Semenjak SMP aku suka mengoleksi majalah remaja. Ayah tahu betul hobiku itu. Ia
inisiatif untuk membelikannya tiap bulan ketika aku tidak punya uang untuk
membelinya. Ayah pula yang menanamkan minat membaca kepadaku sejak kecil. Aku
hobi membaca. Dan waktu aku berusia masih 5 tahun, ayah sudah membelikanku
majalah anak-anak dan beberapa buku cerita. Ia sering membacakan bukunya
untukku, bahkan untuk adikku juga. Sejak saat itu aku menjadi pecinta buku dan
ayah adalah salah satu faktornya. Hal yang lucu sekaligus aneh, pada saat aku
mulai menstruasi pertama kalinya di usia yang ke 11, ayah tanpa merasa malu
membelikanku pembalut wanita. Sungguh aku merasa malu dengan bentuk
perhatiannya yang aga berlebihan itu. Mana ada seorang ayah yang mau membelikan
pembalut untuk anak gadisnya? Tetapi ayahku memanglah ayah terbaik di seluruh
dunia, ia cuek membelikannya untukku meski sebagian orang menatap aneh ke arah
kantong belanjaannya.
Kami
suka berpergian berdua, tanpa ibu atau adik. Ayah memang memahami masa transisi
anaknya dari anak-anak ke remaja. Aku mulai centil dengan suka mencoba-coba
memakai minyak wangi dan handbody lotion. Ayah rela menyisihkan uangnya demi
keperluan ‘’wanita’’ku. Kami berdua pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli
shampo,parfum,handbody lotion, dan aneka keperluan yang lainnya. Ayah juga
sering membelikanku sepatu dan ia yang paling sering menemaniku membeli sepatu.
Rasanya lebih nyaman berbelanja dengan ayah dibanding dengan ibu. Ia begitu
praktis. Kami memiliki banyak kesamaan, salah satunya dalam hal belanja, kami
tidak suka berlama-lama dan cenderung membeli barang-barang yang memang ingin
dibeli saja. Ayahku orang yang santai cenderung cuek. Cuek dalam artian, cuek
terhadap pendapat orang lain terhadapnya. Aku mewarisi hal tersebut dari
ayahku. Aku juga santai, aga cuek, tidak ribet, dan kami sama-sama tidak pernah
menunjukan masalah atau kesedihan seberat apapun di depan orang lain. Ayahku
adalah orang yang jujur. Kejujuran adalah hal utama baginya. Dia pernah marah
padaku karena aku pernah diam-diam mengambil deodorannya, ia marah bukan karena
deodorannya di ambil, tetapi karena aku tidak mau jujur mengakui bahwa aku
mengambilnya. Ayah benci orang yang suka berbohong. Meski ia pernah ditipu dan
dibohongi oleh kawannya sendiri dalam hal bisnis, itu tidak membuat ayah ingin
melakukan hal yang sama pada siapapun.
Orang
yang pertama kali mengajariku tentang tanggung jawab adalah ayah. Ia pernah
berpesan kepadaku untuk menjaga amanah dan tanggungjawab yang diberikan. ‘’Na,
kalau kamu dapat tugas dan kamu merasa kesulitan melakukannya. Bisa tidak bisa
kamu harus terima itu, jangan dulu di tolak. Itu adalah tanggung jawab dan
amanah buat kamu. Bukan masalah bisa atau tidaknya yang penting kamu sudah
mengerjakan tanggung jawabmu dengan baik, dan orang akan menghargaimu’’, pesan
ayah.
Tahun
2007, adalah tahun terburuk dalam hidupku. Ayah yang kami cintai. Yang
segalanya untuk kami. Yang menjadi tulang punggung dan pelindung kami.
Meninggal dunia. Aku adalah orang yang paling terpukul setelah ibuku saat
menghadapi kepergian ayah. Aku tidak menyangka dalam hidupku akan ditinggal
oleh ayah secepat ini di usiaku yang masih 13 tahun. Ia meninggal dikarenakan
penyakit lamanya yang semakin komplikasi. Ayah meninggalkan kami semua di usia
relatif muda, 47 tahun. Rasanya seperti kiamat kecil dalam hidupku, aku merasa
seperti mendapat sebuah tamparan keras. Ada lubang di hatiku yang masih tersisa
hingga saat ini saat kepergiaan ayah.
Aku lebih sedih melihat adikku yang masih berusia 5 tahun, aku lebih beruntung
darinya karena setidaknya pernah merasakan kasih sayang ayah jauh lebih lama.
Seminggu sebelum kepergiannya, kami sempat jalan-jalan berdua terlebih dahulu.
Aku tidak tahu kalau itu adalah jalan-jalan terakhir kami. Aku baru sembuh dari
sakit gejala liver. Selama 2 minggu aku bedrest di rumah. Kemudian ayah
memintaku untuk menemaninya ke dokter karena ia merasa kesehatannya agak
terganggu. Aku menyetujuinya karena sudah lama ku tidak pergi berdua bersama
ayah. Sepulang dari dokter ayah mentraktirku makan sate kambing di warung sate
pinggir jalan. Saat itu hujan deras, kami terjebak diantara derasanya hujan
namun kami sama-sama menikmati kebersamaan kami. Sempat terucap ayah minta didoakan olehku agar ia bisa sembuh dan
diberikan umur yang panjang agar bisa melihatku menjadi sarjana dan menikah. Ia
berdoa semoga bisa mengalami itu semua. Aku tidak sadar bahwa itu adalah
pertanda bahwa ia akan segera pergi meninggalkan kami. Entahlah malam itu
adalah malam terindah yang aku habiskan bersama ayah. Dan itu adalah malam
terakhir untuk kami bisa menghabiskan waktu bersama lagi.
Kini
sudah hampir 6 tahun berlalu. Semuanya berubah saat ayah sudah tiada. Jujur aku
sering merasa kesepian dan merasa tidak memiliki orang yang benar-benar
memahami perasaanku, selain ayah. Aku sering merasa iri ketika melihat
anak-anak remaja lain, di antar jemput ayahnya ketika sekolah. Aku merasa sedih
saat harus pulang malam sendirian dan tidak ada ayah yang mengkhawatirkanku.
Aku merasa rapuh, ketika aku tengah menghadapi masalah dan tidak ayah disisiku
untuk melindungiku. Aku rindu ayahku. Amat sangat merindukannya. Ibu memang
terkadang tidak sepaham denganku, namun kini orang tua yang satu-satunya
tersisa tinggal ibu. Meski tidak pernah terucap, aku berjanji dalam hati dan
juga berjanji untuk ayah, aku akan membahagiakan ibu dan adikku. Aku akan
membuat ibuku bangga dan aku akan menjadi anak yang baik untuk ayah. Otomatis
aku si sulung yang akan menggantikan peran ayah sebagai kepala rumah tangga,
kelak ketika aku sudah bekerja. Aku yang akan melindungi dan menjaga ibu dan
adikku dengan sepenuh hati menggantikan peran ayah. Namun aku harus berusaha
kuat dan tegar di depan ibu dan adikku, sama seperti sifat ayah yang tidak
pernah menunjukan kesakitan atau kesedihannya di depan orang lain. Aku yakin,
ayah pasti bahagia disana. Dan aku akan selalu berdoa untuk ayah agar tenang di
sisiNYA. Aku mencintai ayahku amat sangat mencintainya. Ayah adalah segalanya
untukku. Ayah adalah ayah terbaik yang pernah ada di dunia yang aku miliki.
Kenangan indah tentangnya akan selalu tersimpan rapi di lubuk hatiku yang
paling dalam dan akan selalu ku kenang. Pelajaran darinya akan selalu ada di
setiap langkah kehidupanku. Aku juga berharap agar suatu saat nanti aku
menemukan pendamping hidup yang baik
sekali, sabar luar biasa, tegar, lembut, perhatian, dan penuh kasih sayang
seperti ayahku. Semoga aku bisa menemukan cinta sejati seperti yang ayah dan
ibu ku alami. Ayah sosok yang begitu mencintai keluarga dan istrinya, sosok
yang selalu berusaha membahagiakan keluarganya, dan selalu memberikan yang
terbaik untuk keluarganya. Banyak pelajaran hidup berharga yang aku petik
darinya, dan akan ku ajarkan untuk cucunya kelak agar betapa bangga mereka memiliki kakek yang
luar biasa seperti ayah. Semoga aku diberikan kesabaran maha luas sama halnya
seperti ayahku dalam menjalani hidup. Ayah aku menyayangimu......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar