Senin, 27 Januari 2014

Mempertahankan Hidayah

P.S : Tulisan Ini dulu pernah dimuat di majalah Hijabella edisi ke 5 bulan September-Oktober tahun 2013, dalam rubrik ''In My Hijab Story''. Jadi saya re-post kembali ke dalam blog ini. #RePost #ThrowBack



Hal yang tersulit ketika seseorang memutuskan untuk berhijab bukanlah mendapatkan hidayahnya tapi bagaimana kita dapat mempertahankan hidayah tersebut. Hijab sebenarnya bukanlah suatu hal yang asing buatku. Aku sering melihat beberapa saudaraku yang sudah berumur memakai hijab, atau guru-guruku, dan orang-orang juga banyak yang berhijab. Namun rasanya biasa saja. Aku berasumsi bahwa ‘’tidak apa-apa lah ga pake jilbab, yang penting pakaian yang aku kenakan selalu sopan’’. Kebetulan sebelum aku berhijab pun, aku memang tidak suka berpakaian yang seksi. Orangtua juga melarang anaknya keluar rumah memakai celana pendek, rok mini, atau tanktop. Aku sendiri memang cenderung agak tomboy. Pakaian yang kenakan paling kaus lengan pendek, celana jeans, kemeja, kaus lengan panjang, rok pun selalu dibawah lutut. Aku tidak pernah memakai hotpants, tanktop,  rok mini, atau mengikuti mode celana kedodoran yang terlihat celana dalamnya ketika berjongkok. Karena aku memang tidak suka. Namun persepsiku salah. Aku baru mengetahui bahwa jilbab merupakan suatu kewajiban seorang muslimah. Tahun 2007, usiaku 13 tahun, bapakku meninggal dunia. Hidupku berubah 180 derajat. Aku terpukul sekali. Saat bapak baru meninggal, ibuku yang semula tidak berhijab, langsung seketika itu juga istiqomah memakai hijab hingga saat ini. Aku sering merasa kagum melihat teman-teman sekolahku yang saat itu sudah istiqomah berhijab. Adem rasanya menatap mereka. Mereka terlihat anggun dan rapi. Keinginan berhijab sudah ada, tetapi nanti saja ketika aku sudah kuliah. Hingga pada saat idul fitri 2008, aku mengalami gangguan kecemasan. Jantungku berdetak kencang, tubuhku gemetaran, rasa ketakutan menjalar di sekujur tubuh, saat itu aku teringat akan kematian. Aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi? Apa karena aku trauma akan kepergian ayahku? Atau karena apa? mungkin ini yang disebut dengan hidayah. Saat itu aku teringat akan segala dosa dan kesalahanku. Usiaku masih sangat kecil, 14 tahun, aku baru duduk di kelas 1 sma. Juga baru setahun aku ditinggal oleh alm. Ayahku. Malam hari selepas kejadian itu, setelah aku sudah bisa lebih tenang, aku menangis sejadi-jadinya dengan penuh rasa ketakutan mengingat dosa-dosa dan kesalahanku. Tiba-tiba muncul statement dari mulutku bahwa aku ingin berhijab. Aku sempat berkonsultasi dengan ibu, keluarga, dan beberapa teman dekatku. Respon mereka mayoritas positif. Hingga tanggal 5 oktober 2008, pada saat acara halal bi halal keluarga besarku, bismillahirahmanirahim aku mantap berhijab. Di awal aku berhijab tidak begitu mulus jalanku. Aku masih mengalami gangguan kecemasan itu dan sempat sakit selama sebulan, ada juga yang meremehkan keputusanku berhijab dan mengganggap bahwa itu hanya sementara. Aku juga menjadi bahan bully ketika aku mulai berhijab. Banyak teman sekolahku yang cowok sering meledekku, menghinaku, mereka sering meledekku dengan sebutan karung berjalan, ibu-ibu, ustadzah, rockstar insyaf, dan bahkan ada yang terang-terangan berkata bahwa aku nampak jelek dengan hijab yang aku pakai. Aku sempat merasa down. Tapi aku ingat komitmen awalku kepada Allah swt untuk istiqomah berhijab. Alhamdulilah, hingga saat ini aku sudah kuliah aku masih setia memakai hijabku, dan insyaAllah hijabku ini aku terus kupakai untuk selamanya. Aku tahu meski hijabku belum sempurna dan ilmu agamaku masih kurang, namun aku akan terus berusaha untuk memperbaiki diriku dan memperbanyak ilmu agama. Aku sadar bahwa peristiwa saat itu merupakan hidayah dari Allah swt dan betapa bersyukurnya bahwa Allah masih sangat menyayangiku. Aku tidak tahu akan seperti apa pergaulan, kehidupan, dan aqidahku jika sekarang aku belum berjilbab. Aku berterimakasih kepadaMU ya Allah...

(Ratna Purnamasari-19 tahun-Bogor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar