Rabu, 16 Oktober 2013

Bagiku Ayah Adalah Segalanya....





Ayah, sosok seorang pria yang tangguh yang menjadi tulang punggung untuk keluarga. Ayah memiliki tanggung jawab berat sebagai kepala rumah tangga sekaligus bapak untuk anak-anaknya. Sosok ayah selalu spesial di mataku, siapapun ayah tersebut. Karena sosok seorang ayah memiliki arti penting tersendiri di dalam kehidupanku. Aku lahir dengan latar belakang keluarga menengah, yang di bilang sebagai orang kaya tidak, tapi di sebut miskin juga bukan, kami lumayan berkecukupan. Sosok seorang Ayah yang selalu ku panggil bapak, adalah pria yang sangat baik, lembut, perhatian, namun tegas, dan sangat protektif terhadap anaknya. Aku ingat ketika ayah selalu berteriak menanyakan ada apa dengan nada kekekhawatiran untuk memastikan keadaanku, ketika ia mendengar jeritan atau tangisanku , dan memastikan  bahwa aku baik-baik saja. Ayah bahkan tidak tega untuk membiarkan kepalaku di gunduli seperti bayi lainnya ketika aku masih bayi, karena alasan kasihan denganku yang masih kecil. Padahal lazim jika anak bayi seusiaku pada saat itu di gunduli rambutnya agar tumbuh rambut baru. Namun ayahku menolaknya dengan alasan takut melukai kulitku yang masih sensitif. Aku mengetahui hal ini dari ibuku. Ayah ku meski dengan keterbatasannya yang ia miliki, ia akan selalu berusaha untuk melindungiku sebagai puteri kesayangannya ketika ada seseorang atau suatu hal yang menyakiti diriku. Sering kali beliau marah terhadap seseorang yang membuatku menangis hanya karena alasan sepele. Dan betapa cemasnya ketika ia melihatku terluka, seperti jatuh, atau teriris pisau ketika aku akan menajamkan pensilku. Lebih cemas dari diriku sendiri yang sedang kesakitan. Aku ini anak yang teledor. Aku sering membuat khawatir ayahku. Aku memiliki ketidakseimbangan pada saat aku masih kecil, jadi aku sering sekali terjatuh saat jalan, terjerembap ke got, terluka saat bermain, sehingga ayahku menjadi ayah yang ‘’over protektif’’ kepada anaknya. Menjadi anak tunggal selama 8 tahun, membuatku merasa diistimewakan oleh ayahku sebagai puteri kesayangannya. Aku tahu meski dia begitu protektif terhadapku, tapi sesungguhnya itu adalah bukti bahwa ia amat menyayangiku begitu dalam. Memang ayahku tidak seperti ayah-ayah lain yang normal pada umumnya. Ibu pernah bercerita, bagaimana sedihnya ayah ketika aku baru lahir namun ia tidak dapat menggendongku di karenakan penyakit pinggangnya yang ia derita sejak tahun 1989. Ayah memang sudah sakit-sakitan sebelum menikah dengan ibu. Secara fisik dia terlihat gagah dengan tinggi sekitar 180an dan berat badan proporsional. Ia sering bercerita kepadaku karena posturnya yang tinggi tegap itulah yang membuat banyak wanita banyak mengejarnya di masa muda. Aku hanya tertawa sambil mencibir setiap kali ayah menceritakan hal tersebut kepadaku. Namun ada rasa bangga bahwa bagaimanapun ayahku adalah seorang idola dulunya yang memiliki wajah tampan, berpostur gagah, dan kharisma. Aku sering bercanda dengannya bahwa berarti aku juga punya kesempatan yang sama dengannya untuk menjadi rebutan para pria, dan ayah hanya tertawa mendengar pernyataanku. Mungkin memang secara fisik ia tidak terlihat seperti layaknya orang sakit. Akan tetapi penyakit yang ia derita itu lebih sakit dibanding dengan apa yang selama ini ia sembunyikan dari kebanyakan orang. Ia masih bisa terlihat tampak tenang, biasa, dan bekerja dengan normal padahal sebenarnya aku tahu saat itu rasa sakit pinggang menggerogotinya namun ia selalu menahan kesakitannya. Aku kagum dengan kesabarannya yang luar biasa tanpa batas menghadapi penyakitnya yang ia derita selama belasan tahun. Ayah sudah sering sekali bolak-balik ruang operasi dan keluar masuk rumah sakit, sehingga sampai suatu ketika saat ia sudah menikah dengan ibuku, ia bersumpah tidak akan pernah mau di rawat di rumah sakit lagi dikarenakan trauma mendalam. Bahkan ketika aku berusia sekitar 3 tahun, ayahku sempat lumpuh. Ia tidak bisa berjalan sama sekali. Aku ingat ketika hampir tiap bulan aku pergi bersama ibu untuk mengambil uang gajian ayah di kantor lalu membelikan sepotong ayam KFC kesukaanku. Untung saja ayahku adalah seorang pegawai negri, jadi meskipun ia tidak bekerja namun uang gaji tetap ia dapatkan. Di usiaku yang ke 5 tahun, aku sering memperhatikan ayahku dibopong oleh ibu untuk pergi ke kamar kecil, atau  untuk mandi. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa ayahku tidak bisa berjalan layaknya ayah-ayah yang lain? Mengapa setiap bulan ayahku tidak bisa menemaniku untuk sekedar makan di restaurant KFC? Lalu aku berdoa. Aku berdoa kepada Tuhan agar segera memberikan kesembuhan untuk ayahku agar bisa berjalan lagi seperti sedia kala. Dan aku sering mendoakannya secara terang-terangan di depan ayahku sambil duduk di bawah kakinya dan memijit-mijit kakinya, ‘’Ya Allah semoga bapak bisa jalan lagi ya Allah’’... ucapku dengan polosnya ketika aku masih berusia 5 tahun. Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti apa yang aku sampaikan kepada Tuhan pada saat itu. Aku hanya berharap agar ayahku bisa berjalan dan menemaniku jalan-jalan bersama ibu ke tempat yang aku sukai. Mungkin doa anak kecil yang polos dan belum ada dosa mudah dikabulkan oleh Tuhan. Suatu hari, ada teman ayahku yang baru pulang dari Jepang. Ia entah dalam rangka apa tiba-tiba datang ke rumah untuk menjenguk ayahku yang dari sebelum ia berangkat ke Jepang , sudah menderita lumpuh. Sepertinya teman ayahku itu baru saja belajar ilmu pijit memijit entah itu shiatsu, atau apa dari Jepang. Ia datang ke rumah untuk mempraktekannya dengan ayahku. Ajaib! Lumpuh yang sudah bertahun-tahun ia derita, seketika sembuh dalam hitungan menit hanya karena di pijat-pijat saja bagian syarafnya. Hari itu meski aku masih kecil sekali, aku bisa mengingatnya dengan baik dimana hari itu adalah hari yang paling membahagiakan buatku karena ayahku bisa berjalan kembali. Aku merasa indahnya doa yang dikabulkan pertama kalinya pada saat itu. Kemudian setelah kejadian itu, ayahku bisa berjalan dan beraktifitas normal kembali. Ia mulai berangkat ke kantor lagi setiap harinya. Ia tidak perlu merepotkan ibuku lagi untuk membantunya mandi atau pergi ke kamar kecil. Hanya saja penyakit itu tetap masih bersarang dalam tubuhnya. Setiap hari aku mendengar raungan kesakitan ketika pinggangnya sudah kambuh di malam hari. Ayahku selalu bergadang. Dia tidak pernah tidur di jam yang seharusnya karena terganggu oleh keluhan nyeri di pinggangnya. Aku tumbuh dengan terbiasa mendengar suara kesakitan dari ayahku. Sebenarnya aku sering merasa terganggu, tetapi aku lebih kasihan dengan ayahku yang harus menderitanya setiap malam. Aku sedih karena sesakit apapun yang ia rasakan, ayah tetap menunaikan kewajibannya untuk pergi bekerja mencari nafkah. Ia tidak pernah sedikit pun mengeluh di hadapanku akan penyakit dan masalah yang ia derita. Ayah bagaimanapun ia , ayah akan terus dan selalu berusaha untuk membahagiakan kami sekeluarga. Bahkan kasih sayangnya terhadapku tidak berkurang ketika adikku lahir. Ayah memperlakukan adikku sama istimewanya denganku. Belum pernah di belahan dunia manapun aku melihat ada seorang ayah yang menyanyangi anaknya lebih dari seorang ibu,  dan meletakan kami sebagai keluarga di atas segalanya sebagai harta yang paling berharga. Meski kami hidup sederhana tapi aku belajar arti kebahagiaan yang sesungguhnya ketika aku melewati  masa kecil bersama ayahku. Hingga saat ini aku sepakat untuk mengatakan bahwa masa terindah dalam hidupku adalah ketika aku masih kecil. Sungguh kehidupan yang sempurna buatku. Ayah selalu membawakan makanan setiap kali ia pulang kerja, meski sebenarnya mungkin ketika itu dompetnya sedang menipis. Baginya melihat wajah kami yang senang ketika ia membawa oleh-oleh adalah kepuasan tersendiri. Dan sewaktu-waktu ia tidak dapat membawakan sesuatu saat pulang ke rumah, ia terlihat sama kecewanya denganku saat aku berkata ‘’yaaah gak bawa apa-apa’’.
Ayahku adalah orang yang kreatif,rapi,dan terampil. Ia bisa menjahit baju, celana, sarung bantal, tas, membuat rumah-rumahan barbie untukku yang terbuat dari kardus bekas, menggambar kertas sampul buku tulisku dengan tokoh kartun yang lucu-lucu, membuat amplop untuk tempat pembayaran spp ku dengan sekreatif mungkin. Aku bangga ketika teman-temanku kagum melihat buku-buku ku yang tersampul rapi dengan sampul hasil karya ayah. Sampulnya begitu rapi, ia sendiri yang membuatnya. Di sampulnya di beri gambar kartun yang lucu-lucu. Bahkan jadwal daftar pelajaranku pun ia yang membuatnya. Ayah orang yang sangat detail, cermat, dan terampil. Keterampilannya tidak menurun kepada anak-anaknya. Karena aku sendiri tidak bisa membuat kerajinan tangan apapun, bahkan menjahit kancing baju yang copot aku masih kesulitan. Karena kerapihan dan keterampilannya, ia bekerja di Departemen Kehutanan bagian Penggambaran PETA. Aku suka ketika melihat ayah sedang asyik berkutat di meja kerjanya serius menekuri gambar yang sedang ia buat. Peta buatan ayah sungguh canggih. Ia juga memiliki alat khusus untuk membuat tulisan di peta itu terlihat rapi layaknya tulisan di komputer. Ayah sendiri tidak memiliki komputer. Tetapi ia mahir memakai alat tersebut, dan tidak semua orang bisa menggunakannya.
Jika ditanya siapa sahabat terbaikku? Aku akan menjawab bahwa itu adalah ayahku sendiri. Ia berperan bukan hanya sebagai bapak, kepala rumah tangga saja, ia juga berperan sebagai seorang kawan dan pendengar yang baik untuk anaknya. Ketika aku memasuki masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja, ayah jauh lebih memahami diriku dibandingkan ibu. Aku segan untuk bercerita soal cowok yang aku sukai di smp dengan ibu. Aku lebih merasa nyaman bercerita kepada ayah. Ayah juga sering menceritakan pengalaman masa mudanya denganku, kadang kami suka menghabiskan waktu berdua saling bercerita dan bertukar pikiran. Jangan salah ayah juga bisa galak dan tegas! Ketika aku mulai bandel, pernah pulang malam sehabis menonton pertandingan basket dan pernah pulang malam sehabis berkencan dengan kakak kelasku, ayah akan bertindak tegas terhadapku. Bodohnya aku, menganggap itu sebagai suatu kekangan dari ayah. Padahal itu adalah bentuk perhatian ayah terhadapku, mungkin ia mengkhawatirkan banyak hal ketika aku mulai memasuki masa puber. Aku juga kadang suka melawan ayah dan pernah terlibat konflik. Aku lebih takut ayah marah dibanding ibu. Karena beliau orang yang sangat jarang marah hampir tidak pernah terlibat konflik denganku. Jangan salah meski seperti itu ketika marah, ayah jauh lebih lembut dibanding ibuku. Aku mendapat sisi kelembutan dari sosok ayahku. Ibuku orangnya jauh lebih galak dan bawel. Ayah jarang memarahi apalagi membentakku. Hingga aku berusia 13 tahun, ia tetap saja memanggilku dengan panggilan ‘’sayang’’. Kadang aku merasa risih dan geli mendengarnya, dan jika aku merasa seperti itu, ia akan terus menggodaku. Aku ingat banyak bentuk perhatiannya yang ia berikan kepadaku. Semenjak SMP aku suka mengoleksi majalah remaja. Ayah tahu betul hobiku itu. Ia inisiatif untuk membelikannya tiap bulan ketika aku tidak punya uang untuk membelinya. Ayah pula yang menanamkan minat membaca kepadaku sejak kecil. Aku hobi membaca. Dan waktu aku berusia masih 5 tahun, ayah sudah membelikanku majalah anak-anak dan beberapa buku cerita. Ia sering membacakan bukunya untukku, bahkan untuk adikku juga. Sejak saat itu aku menjadi pecinta buku dan ayah adalah salah satu faktornya. Hal yang lucu sekaligus aneh, pada saat aku mulai menstruasi pertama kalinya di usia yang ke 11, ayah tanpa merasa malu membelikanku pembalut wanita. Sungguh aku merasa malu dengan bentuk perhatiannya yang aga berlebihan itu. Mana ada seorang ayah yang mau membelikan pembalut untuk anak gadisnya? Tetapi ayahku memanglah ayah terbaik di seluruh dunia, ia cuek membelikannya untukku meski sebagian orang menatap aneh ke arah kantong belanjaannya.
Kami suka berpergian berdua, tanpa ibu atau adik. Ayah memang memahami masa transisi anaknya dari anak-anak ke remaja. Aku mulai centil dengan suka mencoba-coba memakai minyak wangi dan handbody lotion. Ayah rela menyisihkan uangnya demi keperluan ‘’wanita’’ku. Kami berdua pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli shampo,parfum,handbody lotion, dan aneka keperluan yang lainnya. Ayah juga sering membelikanku sepatu dan ia yang paling sering menemaniku membeli sepatu. Rasanya lebih nyaman berbelanja dengan ayah dibanding dengan ibu. Ia begitu praktis. Kami memiliki banyak kesamaan, salah satunya dalam hal belanja, kami tidak suka berlama-lama dan cenderung membeli barang-barang yang memang ingin dibeli saja. Ayahku orang yang santai cenderung cuek. Cuek dalam artian, cuek terhadap pendapat orang lain terhadapnya. Aku mewarisi hal tersebut dari ayahku. Aku juga santai, aga cuek, tidak ribet, dan kami sama-sama tidak pernah menunjukan masalah atau kesedihan seberat apapun di depan orang lain. Ayahku adalah orang yang jujur. Kejujuran adalah hal utama baginya. Dia pernah marah padaku karena aku pernah diam-diam mengambil deodorannya, ia marah bukan karena deodorannya di ambil, tetapi karena aku tidak mau jujur mengakui bahwa aku mengambilnya. Ayah benci orang yang suka berbohong. Meski ia pernah ditipu dan dibohongi oleh kawannya sendiri dalam hal bisnis, itu tidak membuat ayah ingin melakukan hal yang sama pada siapapun.
Orang yang pertama kali mengajariku tentang tanggung jawab adalah ayah. Ia pernah berpesan kepadaku untuk menjaga amanah dan tanggungjawab yang diberikan. ‘’Na, kalau kamu dapat tugas dan kamu merasa kesulitan melakukannya. Bisa tidak bisa kamu harus terima itu, jangan dulu di tolak. Itu adalah tanggung jawab dan amanah buat kamu. Bukan masalah bisa atau tidaknya yang penting kamu sudah mengerjakan tanggung jawabmu dengan baik, dan orang akan menghargaimu’’, pesan ayah.
Tahun 2007, adalah tahun terburuk dalam hidupku. Ayah yang kami cintai. Yang segalanya untuk kami. Yang menjadi tulang punggung dan pelindung kami. Meninggal dunia. Aku adalah orang yang paling terpukul setelah ibuku saat menghadapi kepergian ayah. Aku tidak menyangka dalam hidupku akan ditinggal oleh ayah secepat ini di usiaku yang masih 13 tahun. Ia meninggal dikarenakan penyakit lamanya yang semakin komplikasi. Ayah meninggalkan kami semua di usia relatif muda, 47 tahun. Rasanya seperti kiamat kecil dalam hidupku, aku merasa seperti mendapat sebuah tamparan keras. Ada lubang di hatiku yang masih tersisa hingga  saat ini saat kepergiaan ayah. Aku lebih sedih melihat adikku yang masih berusia 5 tahun, aku lebih beruntung darinya karena setidaknya pernah merasakan kasih sayang ayah jauh lebih lama. Seminggu sebelum kepergiannya, kami sempat jalan-jalan berdua terlebih dahulu. Aku tidak tahu kalau itu adalah jalan-jalan terakhir kami. Aku baru sembuh dari sakit gejala liver. Selama 2 minggu aku bedrest di rumah. Kemudian ayah memintaku untuk menemaninya ke dokter karena ia merasa kesehatannya agak terganggu. Aku menyetujuinya karena sudah lama ku tidak pergi berdua bersama ayah. Sepulang dari dokter ayah mentraktirku makan sate kambing di warung sate pinggir jalan. Saat itu hujan deras, kami terjebak diantara derasanya hujan namun kami sama-sama menikmati kebersamaan kami. Sempat terucap ayah  minta didoakan olehku agar ia bisa sembuh dan diberikan umur yang panjang agar bisa melihatku menjadi sarjana dan menikah. Ia berdoa semoga bisa mengalami itu semua. Aku tidak sadar bahwa itu adalah pertanda bahwa ia akan segera pergi meninggalkan kami. Entahlah malam itu adalah malam terindah yang aku habiskan bersama ayah. Dan itu adalah malam terakhir untuk kami bisa menghabiskan waktu bersama lagi.
Kini sudah hampir 6 tahun berlalu. Semuanya berubah saat ayah sudah tiada. Jujur aku sering merasa kesepian dan merasa tidak memiliki orang yang benar-benar memahami perasaanku, selain ayah. Aku sering merasa iri ketika melihat anak-anak remaja lain, di antar jemput ayahnya ketika sekolah. Aku merasa sedih saat harus pulang malam sendirian dan tidak ada ayah yang mengkhawatirkanku. Aku merasa rapuh, ketika aku tengah menghadapi masalah dan tidak ayah disisiku untuk melindungiku. Aku rindu ayahku. Amat sangat merindukannya. Ibu memang terkadang tidak sepaham denganku, namun kini orang tua yang satu-satunya tersisa tinggal ibu. Meski tidak pernah terucap, aku berjanji dalam hati dan juga berjanji untuk ayah, aku akan membahagiakan ibu dan adikku. Aku akan membuat ibuku bangga dan aku akan menjadi anak yang baik untuk ayah. Otomatis aku si sulung yang akan menggantikan peran ayah sebagai kepala rumah tangga, kelak ketika aku sudah bekerja. Aku yang akan melindungi dan menjaga ibu dan adikku dengan sepenuh hati menggantikan peran ayah. Namun aku harus berusaha kuat dan tegar di depan ibu dan adikku, sama seperti sifat ayah yang tidak pernah menunjukan kesakitan atau kesedihannya di depan orang lain. Aku yakin, ayah pasti bahagia disana. Dan aku akan selalu berdoa untuk ayah agar tenang di sisiNYA. Aku mencintai ayahku amat sangat mencintainya. Ayah adalah segalanya untukku. Ayah adalah ayah terbaik yang pernah ada di dunia yang aku miliki. Kenangan indah tentangnya akan selalu tersimpan rapi di lubuk hatiku yang paling dalam dan akan selalu ku kenang. Pelajaran darinya akan selalu ada di setiap langkah kehidupanku. Aku juga berharap agar suatu saat nanti aku menemukan pendamping hidup yang  baik sekali, sabar luar biasa, tegar, lembut, perhatian, dan penuh kasih sayang seperti ayahku. Semoga aku bisa menemukan cinta sejati seperti yang ayah dan ibu ku alami. Ayah sosok yang begitu mencintai keluarga dan istrinya, sosok yang selalu berusaha membahagiakan keluarganya, dan selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Banyak pelajaran hidup berharga yang aku petik darinya, dan akan ku ajarkan untuk cucunya kelak  agar betapa bangga mereka memiliki kakek yang luar biasa seperti ayah. Semoga aku diberikan kesabaran maha luas sama halnya seperti ayahku dalam menjalani hidup. Ayah aku menyayangimu......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar